22 Oktober 2019

Melihat Emas di Antara Tumpukan Jerami

Assalamualaikum, temen-temen! Apa kabar? Semoga sehat dan selalu berada dalam lindungan Allah swt, ya! 

Tumpukan Jerami (Foto: Google)

Aku yakin, teman-teman di sini semua in syaa Allah gemar menuntut ilmu. Dari perkuliahan kemarin, aku dapat inspirasi bahwa menuntut ilmu seperti ngubek-ngubek jerami. Nah, kalo peribahasa kan bilang, mencari jarum di tumpukan jerami. Pada tulisan ini, kita akan ngomongin gimana caranya mendapatkan emas di dalam tumpukan jerami. Sama-sama kekungingan warnanya, tapi beda harga. 


Kita awali dari mengenal tujuan pendidikan. Menurut Ustaz Wido Supraha, tujuan pendidikan itu sejatinya sejalan dengan Pancasila Sila ke-2, lho temen-temen. Yaitu, melahirkan manusia yang beradab. Naquib al-Attas bilang bahwa kata yang pas untuk menyebut pendidikan ialah Ta'dib. Karena, kata-kata yang lain semisal Ta'lim, Tadris (berkaitan dengan ilmu), Tadrib (berkaitan dengan fisik) dan Tarbiyah (berkaitan dengan tumbuh kembang) semua termasuk ke dalam Ta'dib, adab. 

Hmm. Gimana caranya supaya manusia bisa beradab? Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi dulu, yaitu Unsur-Unsur Jiwa Manusia. 

Unsur Jiwa Manusia (Gambar: Ust. Wido)
Pertama, ada unsur Akal. Ada 68x penyebutan kata-kata berkaitan dengan akal di Alquran. Semuanya mengunakan kata kerja. Artinya, akal ini hadir untuk bekerja, berpikir, menganalisa. Nah akal ini harus dikasih makan. Makanannya adalah ilmu, sehingga akal ini akan mengenal Allah. Gimana kalo gak makan ilmu? Maka akal hanya akan tahu Allah aja, tapi gak kenal Allah. Jika kenal sama Allah, maka kita akan tunduk kepada Allah, menghamba kepada Allah. Dengan makan ilmu ini lah, Allah mengangkat derajat kita. (QS. Al Mujadilah, ayat 11). 

Kedua, ada unsur Qalbu. Qalbu ini mampu memahami apa yang diketahui akal. Makanya ada hadits, "mintalah fatwa pada hatimu" ya kan. Tapi ada syaratnya, yaitu kalbunya harus bersih. Supaya bersih, maka harus dikasih makan dengan zikir. Dengan berzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang (QS. Ar-Ra'du, ayat 28). 

Ketiga, ada unsur Jasad. Ketika di kelas, banyak yang berpikir bahwa inilah saatnya kita makan makanan. Eh ternyata, kata Ustaz Wido, makananny jasad itu, adalah amal. "Kita akan sakit kalo berhenti bergerak," kata Ustaz Wido. Bener juga nih. Aku langsung keinget, bahwa salah satu faktor risiko penyakit tidak menular adalah kurangnya aktivitas fisik. Hehe. Tapi kan butuh asupan makanan juga ya gak? Nah, makanan bergizi seimbang itu (kalo zaman dulu istilahnya 4 Sehat 5 Sempurna), adalah bahan bakarnya amal. Dalam QS. Al-Insyirah, ayat 7 Allah berfirman, "Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)". 

Dengan semua ini, maka adab disebut juga sebagai kedisiplinan akal, qalbu dan jasad. Maka dengan begitu kita akan memiliki sifat tawazun. 

Kenapa sih kita harus belajar Adab? 

Ustaz Wido menyampaikan bahwa salah satu dasarnya adalah QS. At-Tahrim, Ayat 6. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.". Nah maksud dari "peliharalah" atau menjaga di sini adalah dengan menanamkan adab dan ilmu. 

Ada sebuah narasi yang disampaikan oleh Ustaz Wido, "Iman sebelum adab, adab sebelum ilmu, ilmu sebelum amal." Gimana maksudnya? Mari kita simak. 

Iman, Adab, Ilmu, Amal (Gambar: Ust. Wido)
Sebelum melakukan amal, kita harus punya ilmunya dulu. Supaya amalnya jadi benar dan diterima oleh Allah. Makanya, ilmu ini akan jadi berkah kalau mendorong kita kepada amal. Makanya, selain mengejar ilmu, kita juga harus kejar adab. Supaya dapet berkahnya. Nah, yang bisa mengejar adab ini ialah orang-orang yang beriman. 

Dari narasi tersebut, kita bisa lihat bahwa targetnya iman adalah, amal. Maka, iman itu juga merupakan amal. Imam Bukhari bilang, iman tidak sempurna tanpa amal. Bukan juga hanya amal ibadah (sendiri-sendiri) tapu juga amal sosial. Karena Islam ini ingin kita bukan hanya jadi manusia yang sekadar menjalan rutinitas atau ritual, tapi juga memiliki dampak. 

Rutinitas kita seperti makan, maka gunakan untuk jadi bahan bakar amal. Bekerja karena Allah, bisa buat mendanai amal. Lebih keren lagi kalau bisa mendanai amal orang lain juga. Dengan bekerja kita jadi bisa zakat, bisa naik haji. Kan sama dengan menyempurnakan Rukun Islam. 

Rasulullah saw bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.” (H.R Muslim 58). 

Coba perhatikan cabang utama, perkataan Laa ilaaha illallah. Itu sejatinya adalah amal. Karena, kita berucap. Kita menggunakan mulut kita untuk mengatakannya. Kemudian yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Misalnya lagi naik kendaraan, ada dahan pohon tumbang, atau paku bertebaran; kita berhenti dan menyingkirkan gangguan itu, ini kan sama dengan amalan. 

Pesan dari Ustaz Wido, dari sini pun kita bisa memahami bahwa tingkatan iman paling rendah itu, bisa membut kita berkeringat (walau sesedikit apapun). Makanya kita gak boleh takut capek. Gak boleh takut berkeringat. Juga, kita harus menegakkan cabang-cabang iman yang lain. 

Nah, setelah beriman, kita akan mampu mengejar adab, ya kan. Ada beberapa nasihat dari para ulama terkait hal ini. 

Abu Hanifah misalnya. Beliau itu sangat suka duduk bersama ulama. Kenapa? Karena dengan begitu beliau dapat menyimak kisah-kisah mereka. Beliau bisa mempelajari adab dan akhlak mereka yang mulia. Kita tau juga kan, bahwa Alquran, sebagiannya berisikan kisah-kisah? Hehe. 

Ada lagi nih, contoh dari Ibunya Imam Malik. Ketika Imam Malik kecil bilang ke orang tuanya bahwa beliau mau belajar kepada Rabiah, Ibunya memakaikan pakaian yang terbaik untuknya, yang mencirikan dirinya sebagai penuntut ilmu. Kemudian, Ibunya berpesan, "Pelajarilah adabnya sebelum engkau mengambil ilmunya." 

Ibn Sirrin bilang, bahwa mereka mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu. Abdullan bih Wahhab bilang, mereka lebih banyak menukil adab dibanding ilmu. 

Dari sini kita bisa memaknai bahwa adab itu sangat penting bagi kita, terutama para penuntut ilmu. Kalau kata Ustaz Wido, orang mengaji atau belajar itu untuk mendisiplikan pikiran. Maka, adab itu berawal dari kedisiplinan berpikir. Inget kan di awal tadi, "Disiplin Akal, Qalbu dan Jasad". Nah, ketika kita sudah disiplin dalam berpikir, ia akan menjadi keterampilan kita dalam menarasikan pemikiran. 

Banyak contoh-contohnya. Misalnya ketika di kampus, mahasiswa masuk lift bersama dosennya. Maka sebaiknya jangan malah sibuk main hape terus kayak tipikal generasi milenial masa kini. Sapalah dosen kita. Tunjukkan adab-adab kita. Contoh lain, dari yang aku pahami, seperti hindari rokok, kemudian buang sampah secara terpilah, bahkan kalau bisa kita mengurangi hal-hal yang berpotensi menjadi sampah (seperti menolak sedotan plastik dan menggunakan tas belanja sendiri). 

Adab itu, universal. Diterima semua orang. Ustaz Wido menyampaikan, kadang kalau kita ngomongin sebuah kebaikan tanpa  nyebut sumber agama, orang bagaimana pun pasti nerima. Tapi ketika kita menyampaikan bahwa itu sumbernya dari agama, kadang itu bisa jadi penghalang bagi dia untuk menerimanya. Karena ya bisa jadi dia mengingkari agama. Inilah bukti bahwa adab, kebaikan Islam, itu universal.  

So, hal-hal seperti itulah yang di awal aku sebut tadi, "melihat emas di antara jerami." Maka, yuk terus belajar Islamic Worldview! Hehehe. Sampai bertemu di postingan selanjutnya! Wassalamualaikum wr wb. 



Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Islamic Worldview yang diampu oleh Al-Ustaz Dr. Wido Supraha. Dikerjakan oleh Bagja Nugraha, mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam, Sekolah Pascasarjana, Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar