Kenapa aku begitu tertarik
kepada media sosial?
Aku memulai belajar mengenai media sosial sejak SMP.
Berawal dari Friendster. Saat itu, mungkin sama dengan orang-orang lain. Hanya
sebagai aktualisasi diri. Agar dikenal oleh dunia.
SMA, aku mulai menggunakan Facebook dan Twitter. Aku
menggunakan Facebook untuk bermain game dan mengikuti komunitas hobi. Twitter?
Digunakan untuk mention artis dan penulis. Wkwkwk.
Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Bima Arya, Pandji Pragiwaksono,
Ayu Utami, Ovi Dian, VJ Eliza Sulaiman, Talinda Bennington dan Shireen Sungkar
adalah beberapa yang pernah mewaro aku di Twitter. (Idih alay amat yak.
Wkwkwk.)
Semua berubah sejak kuliah dan aku mulai ngeblog.
Aku baca sebuah artikel di Republika, menyatakan bahwa
banyak para pekerja kantoran, mencari informasi agama melalui media sosial di
sela-sela waktu pergi, istirahat dan pulang kerja.
Ya, mereka yang biasanya bekerja seharian penuh dan
jarang memiliki waktu untuk datang kajian; memanfaatkan media sosial untuk
mencari ilmu.
Kemudian,
Teh Adelia Rahmi juga pernah memotivasiku untuk rajin nyusun dan share artikel
dari rujukan ulama-ulama. "In syaa Allah jadi amal jariyah," katanya.
Aku pun tersadar. Media Sosial ini bagaikan pisau.
Pisau, apabila digunakan oleh koki untuk memotong bahan pangan; akan menjadi alat untuk menyajikan hidangan
yang sangat lezat dan disukai orang-orang.
Namun berbeda apabila pisau, dipegang oleh orang yang
tidak bertanggungjawab. Hal-hal yang bersifat kriminal bisa saja terjadi.
Begitu pula media sosial. Ia adalah sesuatu yang netral.
Saat diisi dengan kebaikan, maka orang-orang akan terpapar dengan kebaikan. Namun
apabila media sosial diisi dengan keburukan, maka orang-orang pun akan terpapar
asupan yang negatif.
Akhirnya, aku meniatkan bahwa jangan sampai media sosial
hanya menjadi tempat bagiku untuk aktualisasi diri.
Aku meniatkan agar media
sosial menjadi tempatku untuk berbagi kebaikan. Aku pun mulai mempelajari
seluk-beluk media sosial seperti digital marketing, strategy, SEO, dll untuk memaksimalkan
apa yang kulakukan.
Saat ini aku menggunakan media sosial untuk
mengampanyekan pengendalian tembakau. Mengutip teman-temanku dari Muhammadiyah,
"Ini adalah jihad kita."
Melalui media sosial, kita bisa melaporkan
kepada pemerintah apabila ada pelanggaran perda terkait iklan, promosi dan
sponsor rokok.
Kita bisa mengabarkan
kepada dunia bahwa teman-teman UIN Jakarta ketika KKN tahun 2016 lalu, ada yang
menginisiasi Gerakan Rumah Tanpa Asap Rokok di desanya.
Kita
bisa mengajak teman-teman
untuk mendukung Presiden Republik Indonesia untuk segera menandatangani FCTC. 11.021 surat dari anak muda di seluruh penjuru Indonesia
menjadi buktinya.
Kita juga bisa
menyampaikan informasi lain terkait dampak buruk konsumsi rokok bagi ekonomi,
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Seperti, kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada 2015mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok
pada tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun
sebelumnya.
Kita bisa mengajak
teman-teman untuk menandatangani petisi. Seperti,
petisi untuk mendukung komitmen Walikota Padang dalam melarang iklan, promosidan sponsor rokok di kotanya pada tahun 2018 ini.
Melalui tulisan ini, aku mengajak teman-teman untuk
sama-sama bijak bermedsos. Untuk hanya memberikan inspirasi positif bagi masyarakat.
Aku juga mengajak
teman-teman untuk mengubah noice menjadi voice. Mengubah mimpi menjadi aksi. Selalu bersinergi dan
berkolaborasi, guna menghancurkan hegemoni
industri rokok.
Moldova
(2009), Tunisia (2010), Mesir (2011), Hong Kong
(2014), Indonesia / DKI Jakarta (2016) telah menjadi contoh. Melalui
media sosial, kita bisa membuat perubahan.
#SuaraTanpaRokok
#AngkotTanpaRokok #KamiBukanAsbak #TolakJadiTarget #SuarakanKebenaran #KerenTanpaRokok
#FCTCuntukIndonesia #RokokAncamPembangunan #TheyLieWeDie #NoTobacco
Tidak ada komentar:
Posting Komentar