Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.
Jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 258 juta orang (Badan
Pusat Statistik). Diproyeksikan, pada tahun 2035 usia angkatan kerja, 15-64
tahun meningkat dari 66,5 persen (2010) menjadi 67,9 persen (2035). Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi, yang akan
mencapai puncaknya pada 2025-2035.
Dengan bonus demografi ini, diharapkan Indonesia mampu menggenjot
pertumbuhan produktifitas masyarakatnya. Bonus demografi diartikan secara
sederhana adalah peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari
besarnya proporsi penduduk produktif (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Untuk dapat memanfaatkan bonus demografi dengan baik, Indonesia
memerlukan generasi yang sehat dan produktif. Namun sayangnya, lebih dari
sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia saat ini menjadi perokok. Menteri
Kesehatan Nila Moeloek pada pembukaan The 4th Indonesian Conference
on Tobacco or Health (ICTOH) menyatakan, 20 persen remaja usia 13-15 tahun
adalah perokok.
Dilansir oleh Yayasan Lentera Anak, prevalensi prokok anak di
Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. 75,7 persen perokok
mulai perokok sebelum usia 19 tahun, jumlahnya mencapai 16,4 juta dan yang
paling tinggi adalah kelompok usia 15-19 tahun. Berdasar Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan tahun 2013, kecenderungan ini mulai bergeser ke usia yang
lebih muda, yaitu kelompok usia 10-14 tahun.
Hal ini disebabkan berbagai hal. Salah satunya adalah karena harga
rokok di Indonesia yang sangat murah. Menurut Survei Promosi Harga Rokok di 10
Kota yang dilakukan oleh Yayasan Lentera Anak pada 2017, 63 persen harga rokok
per bungkus berkisar antara 10.000 hingga 15.000 rupiah.
Harga rokok yang demikian murahnya sangat terjangkau oleh
anak-anak. Rata-rata uang jajan siswa SD ialah 10.000, SMP 13.000 dan SMA
27.000 per harinya (Survei Daring Uang Jajan Siswa, Yayasan Lentera Anak 2017).
Bahkan, anak-anak di Indonesia dapat membeli rokok secara batangan. 59 persen
anak usia remaja juga tidak pernah ditolak saat membeli rokok di warung dan
toko (Global Youth Tobacco Survey, 2009).
Melihat betapa murahnya harga rokok dan betapa mampunya anak-anak
untuk membeli rokok, tidak aneh jika banyak yang tergiur untuk mencoba merokok.
Ditambah dengan gencarnya iklan, promosi dan sponsor rokok di Indonesia,
Susenas 2010 mencatat bahwa Industri rokok berhasil merekrut perokok pengganti
usia 10 -14 tahun, sejumlah 3,96 juta orang pada tahun 2010 atau 10.869 orang
setiap harinya.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa selain harus dilakukannya
pelarangan total terhadap iklan, promosi dan sponsor rokok di Indonesia,
anak-anak juga harus dicegah dari kemampuan mereka untuk membeli rokok dengan
kenaikan harga.
Harga rokok murah ini juga mengancam hak anak. Dilansir oleh Tempo
(2015), di Yogya, pengeluaran untuk rokok lebih besar dari pendidikan. Selain
itu, gizi dan kesehatan anak juga terancam. Menurut Atlas Tobacco ASEAN 2014,
perokok rata-rata menghabiskan uang Rp. 369.948,- setiap bulannya untuk membeli
rokok daripada mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Dengan jumlah sebanyak
itu, seharusnya keluarga mampu menggunakannya untuk membeli susu, telur atau
daging untuk pemenuhan gizi anak.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada Rapat Kerja
Kesehatan Nasional 2017 telah menyerukan agar masyarakat harus memperhatikan
dan memprioritaskan pemenuhan gizi di dalam keluarga. Beliau berpesan agar
jangan sampai ada uang dipakai untuk beli rokok dan tidak dipakai untuk
menambah gizi anak.
Pada tahun 2016, Center for Health Economic dan Policy Studies
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (CHEPS FKM UI) telah
melakukan Polling Phone Survey Rokok dan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebesar 46
persen perokok setuju untuk menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu atau lebih
akan mengurangi konsumsi rokok. 72,3 persen Perokok sepakat harga Rp 50 ribu atau
lebih akan membuat perokok berhenti merokok. Hasil ini menunjukkan bahwa
masyarakat mendukung kenaikan harga rokok tiga kali lipat akan berdampak pada
penurunan konsumsi rokok.
Lalu, bagaimana kita dapat mengadvokasi kenaikan harga rokok?
Yayasan Lentera Anak pada tahun 2017 ini telah meluncurkan sebuah bentuk
kampanye dengan tajuk FCTC Warrior. FCTC Warrior adalah 6 karakter yang
masing-masing mewakili 1 fokus isu dalam pengendalian tembakau. Salah satu dari
6 warrior adalah Cukai Zei. Melalui karakter Cukai Zei ini, FCTC Warrior
mendorong agar cukai rokok naik sehingga harga rokok mahal dan tidak bisa
dijangkau oleh anak-anak.
Menarik untuk ditelaah bagaimana pemanfaatan karakter Cukai Zei ini
untuk mendukung kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya. Saya mengusulkan bahwa
karakter Cukai Zei (dan juga teman-temannya) perlu dihidupkan selayaknya
karakter Si Juki. Memiliki komikstrip sendiri, dan menerbitkan buku-bukunya
sendiri.
Pada tahun 2014 lalu, karakter Si Juki bahkan menggelar Pilpres
untuk dirinya sendiri. Dia mencalonkan diri sebagai calon dengan nomor urut
1,5. Pada 9 Juli di dunia maya, melalui pemiludigital.com, Si Juki berhasil
memenangkan pemilu dan mengalahkan 2 calon lainnya.
Si Juki memang karakter fiktif, namun ia mampu menghadirkan wacana
yang berbeda di masyarakat. Ia mampu mewarnai kehidupan masyarakat seakan-akan
ia adalah tokoh nyata. Pada 28 Desember 2017, Si Juki akan bermain dalam film
pertamanya, "SI JUKI THE MOVIE: PANITIA HARI AKHIR."
Melalui karakter Si Juki, kita bisa belajar untuk turut
menghidupkan 6 karakter FCTC Warrior. Dengan hidupnya mereka, saya berharap
agar wacana pengendalian tembakau semakin hidup di masyarakat. Karakter Cukai
Zei dan kawan-kawan pun dapat dikenal lebih luas di masyarakat. Hingga akhirnya,
Cukai Zei akan mampu mendapat dukungan nyata dari masyarakat dalam menaikkan
cukai rokok, sehingga harga rokok mahal dan negara akan mampu mewujudkan
perlindungan nyatanya bagi anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar