18 November 2017

Menghidupkan Karakter Cukai Zei dalam Kampanye Kenaikan Cukai Rokok Guna Melindungi Hak Anak Indonesia

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 258 juta orang (Badan Pusat Statistik). Diproyeksikan, pada tahun 2035 usia angkatan kerja, 15-64 tahun meningkat dari 66,5 persen (2010) menjadi 67,9 persen (2035). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi, yang akan mencapai puncaknya pada 2025-2035. 



Dengan bonus demografi ini, diharapkan Indonesia mampu menggenjot pertumbuhan produktifitas masyarakatnya. Bonus demografi diartikan secara sederhana adalah peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Untuk dapat memanfaatkan bonus demografi dengan baik, Indonesia memerlukan generasi yang sehat dan produktif. Namun sayangnya, lebih dari sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia saat ini menjadi perokok. Menteri Kesehatan Nila Moeloek pada pembukaan The 4th Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) menyatakan, 20 persen remaja usia 13-15 tahun adalah perokok.

Dilansir oleh Yayasan Lentera Anak, prevalensi prokok anak di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. 75,7 persen perokok mulai perokok sebelum usia 19 tahun, jumlahnya mencapai 16,4 juta dan yang paling tinggi adalah kelompok usia 15-19 tahun. Berdasar Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2013, kecenderungan ini mulai bergeser ke usia yang lebih muda, yaitu kelompok usia 10-14 tahun.

Hal ini disebabkan berbagai hal. Salah satunya adalah karena harga rokok di Indonesia yang sangat murah. Menurut Survei Promosi Harga Rokok di 10 Kota yang dilakukan oleh Yayasan Lentera Anak pada 2017, 63 persen harga rokok per bungkus berkisar antara 10.000 hingga 15.000 rupiah.

Harga rokok yang demikian murahnya sangat terjangkau oleh anak-anak. Rata-rata uang jajan siswa SD ialah 10.000, SMP 13.000 dan SMA 27.000 per harinya (Survei Daring Uang Jajan Siswa, Yayasan Lentera Anak 2017). Bahkan, anak-anak di Indonesia dapat membeli rokok secara batangan. 59 persen anak usia remaja juga tidak pernah ditolak saat membeli rokok di warung dan toko (Global Youth Tobacco Survey, 2009).

Melihat betapa murahnya harga rokok dan betapa mampunya anak-anak untuk membeli rokok, tidak aneh jika banyak yang tergiur untuk mencoba merokok. Ditambah dengan gencarnya iklan, promosi dan sponsor rokok di Indonesia, Susenas 2010 mencatat bahwa Industri rokok berhasil merekrut perokok pengganti usia 10 -14 tahun, sejumlah 3,96 juta orang pada tahun 2010 atau 10.869 orang setiap harinya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa selain harus dilakukannya pelarangan total terhadap iklan, promosi dan sponsor rokok di Indonesia, anak-anak juga harus dicegah dari kemampuan mereka untuk membeli rokok dengan kenaikan harga.

Harga rokok murah ini juga mengancam hak anak. Dilansir oleh Tempo (2015), di Yogya, pengeluaran untuk rokok lebih besar dari pendidikan. Selain itu, gizi dan kesehatan anak juga terancam. Menurut Atlas Tobacco ASEAN 2014, perokok rata-rata menghabiskan uang Rp. 369.948,- setiap bulannya untuk membeli rokok daripada mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Dengan jumlah sebanyak itu, seharusnya keluarga mampu menggunakannya untuk membeli susu, telur atau daging untuk pemenuhan gizi anak. 


Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017 telah menyerukan agar masyarakat harus memperhatikan dan memprioritaskan pemenuhan gizi di dalam keluarga. Beliau berpesan agar jangan sampai ada uang dipakai untuk beli rokok dan tidak dipakai untuk menambah gizi anak.

Pada tahun 2016, Center for Health Economic dan Policy Studies Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (CHEPS FKM UI) telah melakukan Polling Phone Survey Rokok dan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebesar 46 persen perokok setuju untuk menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu atau lebih akan mengurangi konsumsi rokok. 72,3 persen Perokok sepakat harga Rp 50 ribu atau lebih akan membuat perokok berhenti merokok. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat mendukung kenaikan harga rokok tiga kali lipat akan berdampak pada penurunan konsumsi rokok. 
 



Lalu, bagaimana kita dapat mengadvokasi kenaikan harga rokok? Yayasan Lentera Anak pada tahun 2017 ini telah meluncurkan sebuah bentuk kampanye dengan tajuk FCTC Warrior. FCTC Warrior adalah 6 karakter yang masing-masing mewakili 1 fokus isu dalam pengendalian tembakau. Salah satu dari 6 warrior adalah Cukai Zei. Melalui karakter Cukai Zei ini, FCTC Warrior mendorong agar cukai rokok naik sehingga harga rokok mahal dan tidak bisa dijangkau oleh anak-anak.

Menarik untuk ditelaah bagaimana pemanfaatan karakter Cukai Zei ini untuk mendukung kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya. Saya mengusulkan bahwa karakter Cukai Zei (dan juga teman-temannya) perlu dihidupkan selayaknya karakter Si Juki. Memiliki komikstrip sendiri, dan menerbitkan buku-bukunya sendiri.

Pada tahun 2014 lalu, karakter Si Juki bahkan menggelar Pilpres untuk dirinya sendiri. Dia mencalonkan diri sebagai calon dengan nomor urut 1,5. Pada 9 Juli di dunia maya, melalui pemiludigital.com, Si Juki berhasil memenangkan pemilu dan mengalahkan 2 calon lainnya.

Si Juki memang karakter fiktif, namun ia mampu menghadirkan wacana yang berbeda di masyarakat. Ia mampu mewarnai kehidupan masyarakat seakan-akan ia adalah tokoh nyata. Pada 28 Desember 2017, Si Juki akan bermain dalam film pertamanya, "SI JUKI THE MOVIE: PANITIA HARI AKHIR."

Melalui karakter Si Juki, kita bisa belajar untuk turut menghidupkan 6 karakter FCTC Warrior. Dengan hidupnya mereka, saya berharap agar wacana pengendalian tembakau semakin hidup di masyarakat. Karakter Cukai Zei dan kawan-kawan pun dapat dikenal lebih luas di masyarakat. Hingga akhirnya, Cukai Zei akan mampu mendapat dukungan nyata dari masyarakat dalam menaikkan cukai rokok, sehingga harga rokok mahal dan negara akan mampu mewujudkan perlindungan nyatanya bagi anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar