Salaaam~
Hai semuaaa~ Apa kabar?
*basa-basi*
Cerita dulu ah, dibalik layar
penerbitan postingan ini~
Jadi, setelah selesai nulis
tugas, kepikiran deh., bahwa salah satu cara menambah postingan di blog biar
jadi banyak adalah memposting tugas kuliah. Hahaha.. Apalagi kalo tugasnya
serius dan Insyaallah bermanfaat. Jadi aku pikir, kenapa nggak? hehe.. Oke deh,
cekidot aja yaaa~!
Sudah
sejak tahun 1969, penyunting kakawin “Siwaratrikalpa” penasaran “apa yang
terjadi dengan puisi itu setelah puisi itu selesai ditulis? Bagaimana cara
menggunakannya?” dan dia menunjukan kemungkinan bahwa sebetulnya puisi itu
dimaksudkan untuk dipentaskan secara musikal, yaitu dinyanyikan (Teeuw dll.
1969:6—7). Berdasarkan informasi yang
diberikan oleh McPhee (1996), Robson mencatat bahwa teks kidung juga untuk
dinyanyikan, dan menyarankan bahwa cara menyanyikan mungkin ada hubungannya
dengan pertanyaan tentang struktur metris stanza tersebut (Robson 1971:20).
Dalam bidang bahasa Jawa Modern, tidak
perlu ada penemuan demikian, karena telah lama diakui bahwa tembang dinyanyikan
dan bahwa berbagai metrum macapat mempunyai melodinya sendiri—sarjana bahasa
Jawa sendiri telah meminta kita memperhatikan ini, dan kita mempunyai banyak
kesempatan untuk mengamatinya dalam praktiknya.
Sayang sekali, sejauh ini gambaran
untuk bahasa Melayu jauh dari menyenangkan. Apabila membicarakan syair, kita
beruntung mempunyai laporan oleh Nafron Hasjim tentang pementasan drama dari
Palembang yang disebut Dul Muluk yang diambil dari “Syair Abdul Muluk”; teks
itu dinyanyikan dengan menggunakan tidak kurang dari sepuluh melodi yang
berbeda, masing-masing dengan namanya sendiri-sendiri (Nafron Hasjim 1984:122).
Ternyata peceritaan lisan adalah ciri
dari sebagian besar kesusastraan Indonesia, dan bahwa membaca dalam hati, dalam
setting tradisional, terbatas pada penulisan teknis.
Untuk menghindari kerancuan seperti
yang timbul dari pernyataan Day tentang variasi dalam kesusastraan Jawa Modern
(1987), kita harus membuat perbedaan yang jelas antara komposisi lisan dan
penyajian lisan: yang satu tidak terpisah dari yang lain, tetapi merupakan
proses sendiri-sendiri.
Walaupun kesusastraan lisan yang murni
terletak di luar cakupan kita disini karena tidak termasuk makalah pada tahap
manapun, penyajian lisan adalah relevan karena ini bisa juga mempengaruhi
bentuk dari syair. Korelasi antara satuan metris dan sintaksis dalam teks
puitis adalah jelas (Gonda 1958).
Walaupun pengertian tentang cara
sebuah teks dibahas dalam latar tradisional akan membantu kita menjelakan
ciri-ciri tertentu, pengetahuan ini mungkin juga mempunyai konsekuensi praktis
bagi penyunting yang ingin menyajikan teks itu kepada pendengar modern. Ini
disebabkan teks itu mempunyai dimensi tambahan, yaitu musiknya.
Yang kita maksudkan dengan “musik”
disini adalah penyajian lisan sebuah teks, apakah itu melodius ataupun tidak,
termasuk hiasan lisan dan teknik vokal. Jika sebuah teks dimaksudkan untuk
“berbunyi” mari kita memberikannya bunyi.
Argumen itu dapat diikuti dengan
menarik perhatian pada contoh dimana tembang Jawa atau kidung Bali dinyanyikan
dengan gaya yang begitu banyak kiasan sehingga isi verbalnya tidak dapat
dilihat. Apabila ini terjadi, pendengarnya dikatakan tidak lagi melihat sebuah
teks tetapi asyik dengan pengaaman estetisnya, yang telah berubah dari
kata-kata ke bidang musik, semua didalam jangkauan kemungkinan yang terdapat
dalam gaya itu.
Studi Finnegan tentang gaya lisan
dalam puisi (1997) menekankan interaksi antara: penulis/pendeklamasi ---
karnyanya/penyajiannya --- pembaca/penonton. Jika sebuah karya dihasilkan
secara lisan untuk penonton yang hadir secara fisik, maka pendengar itu secara
teoretis dapat mempengaruhi bentuk maupun isi dari karya/penampilan itu.
Kadang-kadang seluruh teks itu sudah tetap, dan kadang-kadang teks itu dalam
proses diciptakan di tempat pementasan.
Jika kita setuju bahwa aspek auditif
sebuah teks harus digiatkan dan dilestarikan, ini menimbulkan pertanyaan
tentang metode. Kata-kata dalam sebuah teks dapat dicetak pada halaman, dan
telah disarankan bahwa hal yang sama dapat dilakukan untuk bunyi, yaitu direkam
dalam kaset. Teks itu dan kasetnya kemudian dipadukan satu sama lain: teks itu
memberitahukan kita persis apa yang sedang dibacakan atau dinyanyikan, dan
deklamasi atau nyanyian itu membuat kita mendengar bagaimana bunyi teks itu
yang seharusnya.
SUMBER: Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia (S.O Robson). Bab IX.
WARNING: DIMOHON DENGAN SANGAT UNTUK TIDAK MELAKUKAN PLAGIASI BERKAITAN DENGAN POSTINGAN INI. *IF YOU KNOW WHAT I MEAN*
SUMBER: Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia (S.O Robson). Bab IX.
WARNING: DIMOHON DENGAN SANGAT UNTUK TIDAK MELAKUKAN PLAGIASI BERKAITAN DENGAN POSTINGAN INI. *IF YOU KNOW WHAT I MEAN*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar